Senin, 12 September 2016

Parenting " Berbicaralah “Dengan” Anak, Bukan “Kepada” Anak "




Berbicaralah “Dengan” Anak, Bukan “Kepada” Anak


“Bunda, gambarnya besar lho…” seorang anak 9 tahun berbicara kepada ibunya.
“Iya,” ibunya merespon ucapan si anak.
“Bunda, gambar jeruknya besar, warnanya kuning,” kembali anaknya berkata.
Sambil memegang handphone-nya sang ibu kembali berucap, “iya.”
“Bunda, asal iya kan? Dari tadi Bunda cuma ‘iya-iya’ aja. Bunda, kenapa asal iya aja ?” tiba-tiba nada suara anak ini meninggi lalu histeris menangis.
“Iya, maksudnya, Bunda sudah lihat gambarnya,” sang bunda mencoba menjelaskan namun anak ini tidak juga menghentikan tangisannya.
***
“Mama pergi ya, cepet bangun,” teriak seorang mama ketika anaknya mogok berjalan di sebuah tempat rekreasi.
Bukan mendengar perintah mamanya, anak yang usianya 4 tahun itu malah berguling-guling sambil menangis di pelataran parkir.
“ Pokoknya mama pergi ya,” kembali sang mama menegaskan ancaman pada anaknya.
Datanglah gurunya menghampiri seraya berkata “Kenapa? Amar cape?”. Sambil jongkok, sang guru mengelus tangan si anak dan mengusap kepalanya kembali melanjutkan bertanya, “ Perlu istirahat?”
Tak hanya itu, sang guru menatap hangat sang anak, lalu berujar, “Bu Deva peluk dulu ya?” Lantas bu guru memeluk sambil berbicara padanya. Tak lama kemudian anak ini tenang dan mau berjalan menuju mobilnya.
Orang tua pada umumnya berbicara “kepada” anak-anak. Komunikasi seperti ini berlangsung satu arah. Dalam hal ini, orangtua mencoba berkomunikasi “kepada” anak. Namun sayangnya,Komunikasi yang terjadi dalam situasi ininegatif. Orangtua tidak membangun suasana yang nyaman ketika berbicara “kepada” anak-anak mereka. Berbeda jika orangtua maupun guru berbicara “dengan” anak.
Seperti yang terjadi diatas, ibu guru berbicara “dengan” anak bukan “kepada” anak. Komunikasi seperti ini berlangsung dua arah. Ibu guru tidak mengambil posisi berdiri ketika berbicara “dengan” anak, tapi memposisikan tubuhnya sejajar dengan tinggi tubuh sang anak. Menatap, mengusap kemudian memeluk dan berbicara dengan suasana hangat. Maka komunikasinya yang terjadi dalam situasi positif.
Komunikasi yang positif baru bisa dilakukan oleh orangtua atau guru jika orang tua atau guru menyediakan waktu cukup untuk berkomunikasi “dengan” anaknya. Bukan sekedar berkata “iya!” seraya berlalu. Komunikasi yang terjadi bersifat timbal balik atau dua arah, saling mendengarkan.Bukanhanya anak yang harus mendengar tapi orangtua juga mendengar dengan sungguh-sungguh ketika anak berbicara. orangtua memberikan tanggapan atas apa yang dikatakan anak bukan mengabaikan atau malah memberikan ancaman. Sehingga diantara keduanya betul-betul terjalin hubungan yang baik, hubungan saling menyayangi antara orangtua dan anaknya.
Berbicaralah“dengan” anak, bukan berbicara “kepada” anak yang harus dilakukan para orangtua maupun guru. Sehingga lahir anak-anak yang bahagia dalam berbagai kesempatan dan bangga memiliki orangtua maupun guru seperti kita. Mereka lahir menjadi anak-anak yang penuh rasa percaya diri, penuh kasih sayang, penuh kebahagian yang melebihi materi. Berdasarkan hasil penelitian para neuroscientist, anak-anak akan belajar banyak pengetahuan yang diberikan padanya dalam keadaan bahagia. Jika kemampuan komunikasi positif ini dibangun sejak dini, anak akan lahir menjadi pribadi yang menyenangkan dihadapan semua orang.

Cerita Abu Nawas



Membalas Perbuatan Raja

Abu Nawas hanya tertunduk sedih mendengarkan penuturan istrinya. Tadi pagi beberapa pekerja kerajaan atas titah langsung Baginda Raja membongkar rumah dan terus menggali tanpa bisa dicegah. Kata mereka tadi malam Baginda bermimpi bahwa di bawah rumah Abu Nawas terpendam emas dan permata yang tak ternilai harganya. Tetapi selelah mereka terus menggali ternyata emas dan permata itu tidak ditemukan. Dan Baginda juga tidak meminta maaf kepada Abu Nawas, apalagi mengganti kerugian. Inilah yang membuat Abu Nawas memendam dendam.
Lama Abu Nawas memeras otak, namun belum juga ia menemukan muslihat untuk membalas Baginda. Makanan yang dihidangkan oleh istrinya tidak dimakan karena nafsu makannya lenyap. Malam pun tiba, namun Abu Nawas tetap tidak beranjak.
Keesokan hari Abu Nawas melihat lalat-lalat mulai menyerbu makanan Abu Nawas yang sudah basi. Ia tiba-tiba tertawa riang.
"Tolong ambilkan kain penutup untuk makananku dan sebatang besi." Abu Nawas berkata kepada istrinya. "Untuk apa?" tanya istrinya heran.
"Membalas Baginda Raja." kata Abu Nawas singkat.
Dengan muka berseri-seri Abu Nawas berangkat menuju istana. Setiba di istana Abu Nawas membungkuk hormat dan berkata,"Ampun Tuanku, hamba menghadap Tuanku Baginda hanya untuk mengadukan perlakuan tamu-tamu yang tidak diundang. Mereka memasuki rumah hamba tanpa ijin dari hamba dan berani rnemakan makanan hamba."
"Siapakah tamu-tamu yang tidak diundang itu wahai Abu Nawas?" sergap Baginda kasar.
"Lalat-lalat ini, Tuanku." kata Abu Nawas sambil membuka penutup piringnya.
"Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda junjungan hamba, hamba mengadukan perlakuan yang tidak adil ini."
"Lalu keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan dariku?"
"Hamba hanya menginginkan ijin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa dengan leluasa menghukum lalat-lalat itu."
Baginda Raja tidak bisa mengelakkan diri menolak permintaan Abu Nawas karena pada saat itu para menteri sedang berkumpul di istana. Maka dengan terpaksa Baginda membuat surat ijin yang isinya memperkenankan Abu Nawas memukul lalat-lalat itu dimanapun mereka hinggap.
Tanpa menunggu perintah Abu Nawas mulai mengusir lalal-lalat di piringnya hingga mereka terbang dan hinggap di sana sini. Dengan tongkat besi yang sudah sejak tadi dibawanya dari rumah, Abu Nawas mulai mengejar dan memukuli lalat-lalat itu. Ada yang hinggap di kaca. Abu Nawas dengan leluasa memukul kaca itu hingga hancur, kemudian vas bunga yang indah, kemudian giliran patung hias sehingga sebagian dari istana dan perabotannya remuk diterjang tongkat besi Abu Nawas. Bahkan Abu Nawas tidak merasa malu memukul lalat yang kebetulan hinggap di tempayan Baginda Raja.
Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan yang telah dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya. Dan setelah merasa puas, Abu Nawas mohon diri. Barang-barang kesayangan Baginda banyak yang hancur. Bukan hanya itu saja, Baginda juga menanggung rasa malu. Kini ia sadar betapa kelirunya berbuat semena-mena kepada Abu Nawas. Abu Nawas yang nampak lucu dan sering menyenangkan orang itu ternyata bisa berubah menjadi garang dan ganas serta mampu membalas dendam terhadap orang yang mengusiknya.Abu Nawas pulang dengan perasaan lega. Istrinya pasti sedang menunggu di rumah untuk mendengarkan cerita apa yang dibawa dari istana.


Mengecoh Raja.
            Sejak peristiwa penghancuran barang-barang di istana oleh Abu Nawas yang dilegalisir oleh Baginda, sejak saat itu pula Baginda ingin menangkap Abu Nawas untuk dijebloskan ke penjara. Sudah menjadi hukum bagi siapa saja yang tidak sanggup melaksanakan titah Baginda, maka tak disangsikan lagi ia akan mendapat hukuman. Baginda tahu Abu Nawas amat takut kepada beruang.
Suatu hari Baginda memerintahkan prajuritnya menjemput Abu Nawas agar bergabung dengan rombongan Baginda Raja Harun Al Rasyid berburu beruang. Abu Nawas merasa takut dan gemetar tetapi ia tidak berani rnenolak perintah Baginda. Dalam perjalanan menuju ke hutan, tiba-tiba cuaca yang cerah berubah menjadi mendung. Baginda memanggil Abu Nawas. Dengan penuh rasa hormat Abu Nawas mendekati Baginda.
"Tahukah mengapa engkau aku panggil?" tanya Baginda tanpa sedikit pun senyum di wajahnya.
"Ampun Tuanku, hamba belum tahu. kata Abu Nawas.
"Kau pasti tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Hutan masih jauh dari sini. Kau kuberi kuda yang lamban. Sedangkan aku dan pengawal-pengawalku akan menunggang kuda yang cepat, Nanti pada waktu santap siang kita berkumpul di tempat peristirahatanku. Bila hujan turun kita harus menghindarinya dengan cara kita masing-masing agar pakaian kita tetap kering. Sekarang kita berpencar." Baginda menjelaskan.
Kemudian Baginda, dan rombongan mulai bergerak. Abu Nawas kini tahu Baginda akan menjebaknya. Ia harus mencari akal. Dan ketika Abu Nawas sedang berpikir, tiba-tiba hujan turun. Begitu hujan turun Baginda dan rombongan segera memacu kuda untuk mencapai tempat perlindungan yang terdekat. Tetapi karena derasnya hujan, Baginda dan para pengawalnya basah kuyup.

Ketika santap siang tiba, Baginda segera menuju tempat peristirahatan. Belum sempat baju Baginda dan para pengawalnya kering, Abu Nawas datang dengan menunggang kuda yang lamban. Baginda dan para pengawal terperangah karena baju Abu Nawas tidak basah. Padahal dengan kuda yang paling cepat pun tidak bisa mencapai tempat berlindung yang paling dekat.

Pada hari kedua Abu Nawas diberi kuda yang cepat yang kemarin ditunggangi Baginda Raja. Kini Baginda dan para pengawal-pengawalnya mengendarai kuda-kuda yang lamban. Setelah Abu Nawas dan rombongan kerajaan berpencar, hujan pun turun seperti kemarin. Malah hujan hari ini lebih deras daripada kemarin. Baginda dan pengawalnya langsung basah kuyup karena kuda yang ditunggangi tidak bisa berlari dengan kencang.

Ketika saat bersantap siang tiba, Abu Nawas tiba di tempat peristirahatan lebih dahulu dari Baginda dan pengawalnya. Abu Nawas menunggu Baginda Raja. Selang beberapa saat Baginda dan para pengawalnya tiba dengan pakaian yang basah kuyup.

Melihat Abu Nawas dengan pakaian yang tetap kering Baginda jadi penasaran. Beliau tidak sanggup lagi menahan keingintahuan yang selama ini disembunyikan.
"Terus terang begaimana caranya rnenghindari hujan , wahai Abu Nawas. tanya Baginda.
"Mudah Tuanku yang mulia." kata Abu Nawas sambil tersenyum.
"Sedangkan aku dengan kuda yang cepat tidak sanggup mencapai tempat berteduh terdekat, apalagi dengan kuda yang lamban ini." kata Baginda.
"Hamba sebenarnya tidak melarikan diri dari hujan. Tetapi begitu hujan turun hamba secepat mungkin melepas pakaian hamba dan segera melipatnya, lalu mendudukinya. Ini hamba lakukan sampai hujan berhenti." 
Diam-diam Baginda Raja mengakui kecerdikan Abu Nawas.

Minggu, 11 September 2016

Kisah Inspiratif



"KISAH INSPIRATIF "
( Biarkan anak-anak ikut membaca )

Seorang pemuda melamar lowongan posisi manajer di sebuah perusahaan besar. Dia lulus wawancara awal.
Sekarang akan bertemu dengan seorang direktur untuk wawancara akhir. Dari CV-nya sang direktur mengetahui bahwa prestasi akademis pemuda itu sangat baik.
Dia bertanya, "Apakah Anda mendapat beasiswa di sekolah ...?"  Pemuda itu menjawab, "NO".
"Siapa yang membayar biaya sekolah ...?"
"Orangtua," jawabnya.
"Di mana mereka bekerja ......?"
"Mereka bekerja sebagai tukang cuci pakaian."
Direktur meminta pemuda itu untuk menunjukkan tangannya. Pemuda itu menunjukkan kedua tangannya yang halus dan sempurna.  "Pernahkah Anda membantu orangtua Anda mencuci pakaian?"
"Tidak pernah. Orangtua saya selalu ingin saya belajar dan membaca buku lebih banyak. Selain itu, orangtua saya bisa mencuci pakaian lebih cepat dari saya."
Direktur mengatakan, "Saya punya permintaan.
Ketika Anda pulang hari ini, pergi dan bersihkan tangan orangtua Anda. Temui saya besok pagi."
Pemuda itu merasa sedih. Ketika ia kembali ke rumah,  ia meminta orangtuanya membiarkan dia membersihkan tangan mereka. Orangtuanya merasa aneh. Senang..., terharu... tapi dengan perasaan campur aduk,  Mereka menunjukkan tangan mereka kepada sang anak. Pemuda itu membersihkan tangan mereka perlahan-lahan.  Airmatanya meleleh perlahan saat ia melakukan itu.  Ini adalah pertama kalinya ia melihat ...... Tangan orangtuanya begitu kusut, dan....  begitu banyak lecet di tangan mereka.
Beberapa luka lecet itu membuat mereka mengeluh sakit saat ia menyentuhnya,  Ini adalah pertama kalinya pemuda itu menyadari  bahwa sepasang tangan yang mencuci pakaian setiap hari inilah  yang memungkinkan dia untuk membayar biaya sekolah.  Lecet2 di tangan adalah harga yang harus dibayar orang tuanya
untuk pendidikan, kegiatan sekolah dan masa depannya.  Setelah membersihkan tangan orangtuanya,
pemuda ìtu diam-diam mencuci semua pakaian yang masih tersisa.  Malam itu, orangtua dan anak berbincang untuk waktu yang sangat lama.
Keesokan paginya, pemuda itu pergi ke kantor direktur. Direktur melihat airmata di mata pemuda itu, ketika ia bertanya:  " Apa yang telah Anda lakukan di rumah Anda kemarin ....?" Pemuda itu menjawab,
"Saya membersihkan tangan orangtua saya,  juga mencuci semua pakaian yang tersisa sampai selesai."
" Pelajaran apa yg Anda peroleh..? "
"Saya sekarang tahu apa artinya cinta dan pengorbanan orang tua saya.
Tanpa orangtua saya, saya tidak akan menjadi diri saya hari ini "...
Dengan membantu orangtua saya,  saya baru menyadari betapa sulit mencapai tujuan kalau dilakukan sendiri.
Saya menghargai pentingnya saling membantu dalam keluarga."
Direktur mengatakan,  "Inilah yang saya cari pada diri seorang manajer. Saya ingin merekrut orang yang dapat menghargai bantuan orang lain.  Orang yang tahu penderitaan orang lain untuk menyelesaikan sesuatu, Orang yang tidak menempatkan uang sebagai satu-satunya tujuan hidup."
"Anda diterima kerja."

Wahai para orang tua.....  Seorang anak, yang terlalu dilindungi,  dimanjakan apa pun yang ia mau,
akan mengembangkan "mentalitas hak" dan akan selalu mengutamakan dirinya sendiri.  Dia akan mengabaikan upaya orangtuanya.
Jika kita menjadi orang tua yang terlalu melindungi, bukan berati mencintai anak-anak dengan cara yg benar.
Bukankah malah menghancurkan mereka...?
Boleh membiarkan anak tinggal di sebuah rumah besar,  makan makanan yang baik, belajar piano, menonton TV layar lebar. Tapi ketika Anda membersihkan rumah,  ajak mereka juga melakukannya.
Setelah makan, biarkan anak2 mencuci piring dan mangkuk sendiri.
Bukan karena tidak punya uang untuk menyewa pembantu, tetapi karena ingin mencintai anak2 dengan cara yang benar.
Agar mereka mengerti, kendati orangtua mampu. Suatu hari kita akan menjadi tua dan tak berdaya.
Betapa bahagia mempunyai anak yang mengerti.
Didik dan bimbinglah anak Anda  agar belajar bagaimana menghargai jerih payah orang tua,
juga orang orang lain dalam mencapai tujuan.

Semoga bermanfaat