Berbicaralah “Dengan” Anak, Bukan “Kepada” Anak
“Bunda, gambarnya besar lho…” seorang anak 9 tahun berbicara kepada
ibunya.
“Iya,” ibunya merespon ucapan si anak.
“Bunda, gambar jeruknya besar, warnanya kuning,” kembali anaknya
berkata.
Sambil memegang handphone-nya sang ibu kembali berucap, “iya.”
“Bunda, asal iya kan? Dari tadi Bunda cuma ‘iya-iya’ aja. Bunda,
kenapa asal iya aja ?” tiba-tiba nada suara anak ini meninggi lalu histeris
menangis.
“Iya, maksudnya, Bunda sudah lihat gambarnya,” sang bunda mencoba
menjelaskan namun anak ini tidak juga menghentikan tangisannya.
***
“Mama pergi ya, cepet bangun,” teriak seorang mama ketika anaknya
mogok berjalan di sebuah tempat rekreasi.
Bukan mendengar perintah mamanya, anak yang usianya 4 tahun itu
malah berguling-guling sambil menangis di pelataran parkir.
“ Pokoknya mama pergi ya,” kembali sang mama menegaskan ancaman pada
anaknya.
Datanglah gurunya menghampiri seraya berkata “Kenapa? Amar cape?”.
Sambil jongkok, sang guru mengelus tangan si anak dan mengusap kepalanya
kembali melanjutkan bertanya, “ Perlu istirahat?”
Tak hanya itu, sang guru menatap hangat sang anak, lalu berujar,
“Bu Deva peluk dulu ya?” Lantas bu guru memeluk sambil berbicara padanya. Tak
lama kemudian anak ini tenang dan mau berjalan menuju mobilnya.
Orang tua pada umumnya berbicara “kepada” anak-anak. Komunikasi
seperti ini berlangsung satu arah. Dalam hal ini, orangtua mencoba berkomunikasi
“kepada” anak. Namun sayangnya,Komunikasi yang terjadi dalam situasi ininegatif. Orangtua tidak
membangun suasana yang nyaman ketika berbicara “kepada” anak-anak mereka.
Berbeda jika orangtua maupun guru berbicara “dengan” anak.
Seperti yang terjadi diatas, ibu guru berbicara “dengan” anak bukan
“kepada” anak. Komunikasi seperti ini berlangsung dua arah. Ibu guru tidak
mengambil posisi berdiri ketika berbicara “dengan” anak, tapi memposisikan
tubuhnya sejajar dengan tinggi tubuh sang anak. Menatap, mengusap kemudian
memeluk dan berbicara dengan suasana hangat. Maka komunikasinya yang terjadi
dalam situasi positif.
Komunikasi yang positif baru bisa dilakukan oleh orangtua atau guru
jika orang tua atau guru menyediakan waktu cukup untuk berkomunikasi “dengan”
anaknya. Bukan sekedar berkata “iya!” seraya berlalu. Komunikasi yang terjadi
bersifat timbal balik atau dua arah, saling mendengarkan.Bukanhanya anak yang
harus mendengar tapi orangtua juga mendengar dengan sungguh-sungguh ketika anak
berbicara. orangtua memberikan tanggapan atas apa yang dikatakan anak bukan
mengabaikan atau malah memberikan ancaman. Sehingga diantara keduanya
betul-betul terjalin hubungan yang baik, hubungan saling menyayangi antara
orangtua dan anaknya.
Berbicaralah“dengan” anak, bukan berbicara “kepada”
anak yang harus dilakukan para orangtua maupun guru. Sehingga lahir anak-anak
yang bahagia dalam berbagai kesempatan dan bangga memiliki orangtua maupun guru
seperti kita. Mereka lahir menjadi anak-anak yang penuh rasa percaya diri, penuh
kasih sayang, penuh kebahagian yang melebihi materi. Berdasarkan hasil
penelitian para neuroscientist, anak-anak akan belajar banyak pengetahuan yang
diberikan padanya dalam keadaan bahagia. Jika kemampuan komunikasi positif ini
dibangun sejak dini, anak akan lahir menjadi pribadi yang menyenangkan
dihadapan semua orang.